“Laptop, bahan
materi, HP, dompet, rokok,,, OK
clear!!” begitu kataku sambil
merapikan isi ransel dan
beranjak menuju garasi. Sampai
di garasi, aku baru ingat kalau
salah satu ban mobilku kempes
sejak 3 hari yang lalu. Dan
akhirnya, aku memutuskan pergi
dengan motor meskipun
sepertinya akan turun hujan.
Cerita Dewasa Birahi 2014 |
Malam ini aku ada janji dengan
dosen pembimbing TA ku. Aku
adalah seorang mahasiswa
angkatan tua. Sudah 7 tahun aku
kuliah sampai-sampai dosen
pembimbing TA ku diganti
karena harus melanjutkan study
keluar negeri. Sisi baiknya, sang
dosen pengganti adalah seorang
wanita cantik yang mungkin
usianya hanya terpaut 2-3 tahun
dari umurku. Maklum lah, aku
sendiri sudah berumur 25 tahun
saat ini.
Bu Chintya, begitulah kami biasa
memanggilnya. Seorang wanita
muda yang tak hanya cerdas dan
penuh kharisma namun juga
cantik dan modis. Beliau resmi
mengajar di fakultas kami baru 1
semester. Tapi dengan berjuta
keanggunan itu, tak heran jika
beliau langsung dikenal &
dikagumi oleh seluruh penghuni
kampus.
Cerita Dewasa Birahi 2014 |
Minggu ini, Bu Chintya cuti sakit.
kabarnya gejala thypus yang
disertai maag. Suatu berita yang
sangat buruk bagi kelas yang
diajarnya, karena selama beliau
cuti, tentu saja anak-anak tidak
bisa bertatap muka dengan bu
dosen yang katanya menjadi
semangat belajar mahasiswa.
Tapi hal ini lain bagi mahasiswa
TA bimbingan Bu Chintya.
Kemarin pagi Bu Chintya
mengirimkan e-mail yang
mempersilahkan seluruh
mahasiswa bimbingannya
mengirimkan pekerjaan masing-
masing via e-mail, kemudian
beliau menjadwalkan kami untuk
bimbingan di rumahnya selama
beliau cuti. Sungguh seorang
dosen yang sempurna. Cantik,
cerdas dan penuh integritas.
***
“blok C3 nomer 21”, begitu aku
membaca kembali sms yang
berisi alamat Bu Chintya. Tak
terasa aku telah sampai di
perumahan Griya Pesona, dan
tinggal 1 blok lagi aku telah
sampai di kediaman beliau.
“sebelah kiri jalan, gerbang
merah maroon”, kataku dalam
hati sambil memarkirkan
motorku didepannya. Rumah itu
tidak terlihat megah, tapi terlihat
sangat rapi. Kombinasi warna
lampu tamannya terlihat sangat
menarik dimataku.
Dan seolah tidak ingin
membuang-buang waktu lagi,
aku bergegas memencet bel
dibalik gerbangnya.
“selamat malam” begitu sambut
sosok pemilik rumah yang sudah
kukenal baik itu. Dan tak lama
kemudian, kami sudah duduk
berhadapan di ruang tamu yang
ukurannya juga tidak terlalu luas.
Malam itu Bu Chintya
mengenakan atasan tanpa
lengan berwarna hitam, dengan
bawahan celana ketat berwarna
abu-abu. Sungguh padu padan
yang pas sekali, terlihat sexy
tetapi tidak menyirnakan
keanggunannya. Sangat cantik.
“kamu tadi tidak kehujanan
kan?” tanyanya membuka
pembicaraan.
“tidak Bu. Ibu sudah sehat?”
kataku basa-basi
“ah, saya sebenarnya juga tidak
merasa sakit kok” jawabnya
sambil tersenyum dan
menyalakan netbook-nya.
“Dhimas Perdana, HC04XXXXX,
betul kan?” katanya sambil
membuka file pekerjaanku, dan
aku pun mengangguk meng-iya-
kan.
“nah, saya harus mengatakan
kepadamu bahwa kamu selalu
mengulang kesalahan yang
sama. Sekarang kamu baca hasil
pekerjaanmu dan silahkan
bertanya kalau ada yang belum
paham” katanya sambil memutar
netbook berisi draft TA yang
penuh coretan-coretan highlight
itu kearahku
“seperti yang sudah saya
katakan kemarin, sebaiknya
tulisanmu jangan bertele-tele.
Gunakan sumber materi yang
valid dan jangan menuliskan
pendapatmu sendiri kedalam
dasar teori. Kalau kamu ingin
mengutip, blablabla…”
Begitulah Bu Chintya
menelanjangi hasil kerjaku
seolah semua yang kukerjakan
penuh kesalahan. Sekilas aku
melirik wajah cantik yang penuh
ekspresi itu, dan memang semua
yang dikatakanya tidak salah.
“maaf Bu, kalau mengenai
paragraf ini, kira-kira yang salah
bagian mana?” kataku sedikit
memotong pembicaraannya
sambil menghadapkan netbook
itu kearahnya
“nah, kalau yang ini mengenai
penggunaan kalimatnya. Kalimat
ini mengandung makna yang
sama persis dengan bagian ini,”
begitu katanya sambil menyorot
beberapa kalimat dibawahnya
“maaf bu, boleh saya duduk
disitu, soalnya dari sini kurang
jelas” begitu sahutku sambil
menunjuk bangku panjang yang
diduduki Bu Chintya
“ya silahkan” katanya sambil
menggeser posisi duduknya.
Dan akhirnya malam itu kulewati
dengan duduk bersanding Bu
Chintya sambil mendengarkan
ceramahnya.
Malam minggu, hujan gerimis
mulai turun, dan duduk
bersanding Bu Chintya. “What a
perfect weekend” begitu kataku
dalam hati. Dan tentu saja
kalimat-kalimat yang terdengar
dari bibir tipis itu tidak
sepenuhnya lagi kusimak. Aku
lebih memperhatikan gerak
bibirnya dari belakang sambil
menikmati kecantikannya
parasnya.
“ada pertanyaan lagi?” katanya
mengakhiri penjelasannya
“ehm, tidak bu” jawabku cepat
“kamu ini sebenarnya sudah
paham, tapi kurang serius saja
menulisnya. Tolong yang serius
yak,, kasihan penelitianmu.
Kabarnya TA ini sudah 4
semester tidak kamu kerjakan
ya?”
“hehe,, kan yang 1 tahun cuti Bu..
jawabku sekenanya”
“apa bedanya??? Ya pokoknya
saya harap semester ini kamu
selesaikan. Kalau tidak, silahkan
cari pembimbing lain saja” kata
Bu Chintya dengan nada tegas.
“ngomong-ngomong kamu mau
minum apa? Saya buatkan kopi
sambil nunggu hujan reda ya?”
kata Bu Chintya sambil beranjak
berdiri
“What a super perfect weekend!!
Sekarang malah acara ngopi
bersama Bu Chintya ” begitu
kataku dalam hati dengan polos.
Dan satu hal lagi kusadari ketika
Bu Chintya beranjak menuju
dapur. Tampak jelas ketika beliau
lewat didepan mataku, celana
abu-abunya mencetak jelas
belahan pantatnya.
“masa’ Bu Chintya gak pake CD
yak??” begitu kira-kira pikiran
jorokku tiba-tiba muncul dan
segera kutepis jauh-jauh. Beliau
termasuk dosen yang kuhormati,
so, sepertinya tidak pantas kalau
aku berpikiran yang aneh-aneh
seperti itu
***
“Ngomong-ngomong, kamu asli
mana dim?”.. tiba-tiba Bu Chintya
sudah muncul lagi membuyarkan
lamunanku. “Katanya kamu buka
usaha konveksi ya?” lanjutnya
sambil meletakkan cangkir kopi
didepanku
“Iya bu. Usaha clothing kecil-
kecilan. Saya asli Surabaya Bu.
Kalau Ibu asli mana?” kataku
menanggapi.
“Saya kecil di Medan, tapi sudah
pindah sini sejak kuliah S1 dulu.
Katanya usaha clothing kamu
sudah kirim kemana-mana ya???
memang mahasiswa kalau sudah
kenal duit biasanya jadi susah
lulus.” sahutnya sambil tertawa
kecil.
Dan akhirnya malam itu kami
lewati dengan pembicaraan-
pembicaraan ringan tentang
bisnis yang sedang kujalankan,
tentang hobby kami, tentang
keluargaku, tentang keluarga Bu
Chintya, dll.
Ternyata Bu Chintya adalah anak
bungsu dari 3 bersaudara. Kedua
kakak laki-lakinya sudah
berumah tangga. Ayahnya adalah
orang Medan, seorang pejabat
militer dan ibunya seorang
keturunan Belanda. Kedua orang
tua Bu Chintya bercerai sejak
beliau duduk di SMU, oleh karena
itu, Bu Chintya memutuskan
untuk tinggal sendiri di rumah
ini, sejak beliau lulus SMU dulu.
“Ngomong-ngomong, hujannya
tambah deras dim, kamu tunggu
disini dulu saja sampai reda. Saya
mau masuk dulu sebentar” kata
Bu Chintya sambil menengok
kearah jam yang tergantung
disudut ruangan
“eh, sudah malam Bu. Sudah
setengah 10. Mending saya nekat
saja, daripada nanti tambah
malam. Kayanya hujanya juga
ndak bakal berhenti” begitu
jawabku sambil melihat
memasukkan laptopku
“ya kalau hujanya ndak berhenti
kamu nginep disini saja ndak pa
pa” sahut Bu Chintya sambil
tersenyum menirukan gaya
bicaraku
“ya kalau saya nginep nanti bisa
dimasa tetangga Bu” begitu
sahutku dengan nada bercanda
“siapa yang mau ngeroyok
kamu?” sahut Bu Chintya cepat.
“Saya tidak bercanda kok dim.
Kamu bisa disini dulu kalau kamu
mau. Daripada kamu hujan badai
nekat”. begitu sahut Bu Chintya.
Jawabanya singkat, tapi cukup
menegaskan bahwa dia tidak
bercanda.
“bagaimana? Kalau mau nekat
hujan-hujan tidak apa-apa. Saya
tidak bisa melarang kamu, tapi
kalau mau nunggu hujan dulu
juga tidak apa-apa.
“eh, saya nunggu hujan dulu saja
bu” jawabku sambil tetap
merapikan laptopku.
“OK, saya masuk dulu ya. Soalnya
disini banyak angin. Nanti kalau
hujannya belum reda silahkan
istirahat disini, anggap saja
rumah sendiri. Jangan lupa
motormu dimasukkan” begitu
kata Bu Chintya sambil tersenyum
“iya Bu”, begitu jawabku singkat.
***
Aku sendiri tidak habis pikir.
Bagaimana bisa seorang Bu
Chintya menawarkan aku untuk
tidur disini. Biarpun aku tidur
diteras sekalipun, apakah layak
seorang mahasiswa sepertiku
tidur dirumah seorang
dosennya? Apakah ini suatu
jebakan? Jangan-jangan ada
konspirasi atau rencana khusus
dari pihak kampus, atau apapun
itu. Begitulah pikiranku muluk-
muluk, dan ternyata hujan tak
kunjung reda.
Sementara hujan angin semakin
deras, akupun memutuskan
memasukkan motorku dan
menutup pintu depan. Bukan
karena aku memutuskan untuk
menginap, tapi angin diluar
tambah kencang dan air hujan
tertiup masuk ke ruang tamu.
“Nanti kalau reda baru balik deh”
begitu kataku dalam hati
Setelah menutup pintu, aku
bergegas masuk kedalam
mencari Bu Chintya, bukan pula
karena aku ingin tidur
dirumahnya, melainkan aku ingin
ke toilet mencuci kaki sambil
buang air kecil
Ternyata Bu Chintya berada
didalam kamarnya. Aku
mendengar suara beliau
menonton TV sambil tertawa
kecil. Dan aku pun bergegas
mendekat dan mengetuk pintu
kamarnya yang memang terbuka.
“Eh dimas, gimana? Jadi mau
nginep? Masuk dim” sahut beliau
sambil tetap menyimak TV-nya.
Tubuhnya terbaring diatas
spring bed yang cukup lebar,
sementara selimut tebal yang
tampaknya sangat hangat
menutup hingga bahunya.
“eh tidak Bu, saya mau ke toilet”
begitu jawabku
“ya silahkan” sahutnya cepat.
“pakai yang didalam saja ya,
soalnya yang diluar tidak ada
sabunnya. saklarnya ada
disamping pintu” lanjutnya
sambil menunjuk ke salah satu
sudut kamarnya
Dengan sedikit canggung,
akhirnya aku masuk dan pipis di
kamar mandi di kamar Bu
Chintya. Padahal tadi aku mau
buang air di toilet belakang.
Tidak enak kan kalau masuk
rumah sampai ke belakang tanpa
bilang. Rasanya agak rikuh juga
buang air di kamar mandi Bu
Chintya, apalagi yang punya
kamar sudah berbaring nyaman
ditempat tidurnya.
“pintu depan sudah ditutup?”
begitu tanyanya begitu aku
keluar dari kamar mandi, sambil
tetap menyimak tayangan TV
yang tergantung disisi kanan
kamar
“ehm, sudah Bu” begitu jawabku
canggung
“ya sudah, itu acaranya bagus
lho. Kalau kamu perhatikan bisa
jadi masukan buat TA-mu”
katanya sambil membesarkan
volume TV
“ini tentang budaya Jepang
jaman PD 2, ini bisa jadi referensi
blablabla..” begitu lanjutnya
menerangkan. Aku sendiri hanya
bisa melihat tayangan TV itu dari
depan pintu kamar mandi, dan
bingung harus bagaimana.
Mati gaya banget lah
“Heh, mau sampe kapan berdiri
disitu?” Bu Chintya segera
berseru dengan tanggap.
Sepertinya beliau tahu kalau aku
berdiri disitu dengan canggung.
“ngapain bengong disitu??”,
lanjutnya sambil menggeser
posisi tidurnya.
Dengan bahasa tubuh seperti itu,
aku menangkap bahwa beliau
menginginkan aku beranjak ke
tempat tidurnya. Atau setidaknya,
duduk disitu lah.
Dan, dengan sedikit salah
tingkah aku pun mendekat dan
duduk diseberang tempat Bu
Chintya berbaring. Tepatnya
dibelakang Bu Chintya yang
sedang asyik memperhatikan TV
nya.
Sesaat kami pun terdiam. Aku
benar-benar merasa canggung
berada disini. Aku juga tidak
tahu harus memulai
pembicaraan dari mana, aku
benar-benar merasa aneh dan
mati gaya. Aku berada dikamar
Bu Chintya, seorang dosen yang
menjadi idola di kampus, atau
mungkin idola di universitas!!!
ckckck
“nih bantalmu” begitu kata Bu
Chintya sambil mengulurkan
sebuah bantal kepangkuanku.
Tampaknya beliau tahu
bagaimana aku merasa aneh dan
tidak tahu harus bagaimana.
Dan dengan bantal yang yang
diulurkan padaku itu, aku malah
tambah bingung harus
bagaimana. Aku tambah salah
tingkah dan tetap diam
“kurang besar apa dim? atau
kamu mau pakai bantal saya
saja?” katanya sambil tertawa
ringan dan menggeser bantal
panjang berwarna putih yang
menopang wajah cantiknya.
“eh” aku tambah bingung
dengan kalimat terakhirnya, dan
aku masih tak bisa menyahut
apa-apa, sekalipun aku tahu
maksud beliau adalah
mempersilahkan aku tiduran
disitu
“ehm, maksud Ibu, saya tidur
disini?” kataku terbata. Seolah
aku bingung mau menyahut apa
“apa kamu mau tidur di garasi?
Sepertinya kasur saya masih sisa
banyak kalau cuma kamu tiduri”
sahutnya sambil tersenyum
Dan sekali lagi aku sangat tidak
percaya dengan kata-katanya.
Aku tidak percaya dengan
telingaku sendiri. Namun aku
tetap mengerti apa yang
dimaksud dan segera berbaring
sambil tetap menyaksikan
tayangan TV yang tergantung
didepan Bu Chintya.
Sesaat kemudian, nampak acara
TV yang kusaksikan dengan
canggung itu hampir selesai, dan
tiba-tiba suara Bu Chintya
kembali memecah
kecanggunganku “lampu besar
saya matikan saja ya dim, saya
tidak bisa tidur kalau terlalu
terang”
Dan tanpa banyak berkata lagi,
beliau langsung beranjak turun
dari tempat tidur, dan aku benar-
benar tidak percaya dengan apa
yang kulihat.
Dibalik selimut itu, Bu Chintya
masih mengenakan atasan
berwarna hitam yang tadi
dikenakannya, tetapi ternyata
beliau tidak lagi mengenakan
celana abu-abunya.
Sebagai gantinya, seutas tali G
string hitam terselip diantara
belahan pantatnya. Terlihat jelas
pantat yang halus dengan paha
yang mulus itu bergerak menuju
pintu kamar, dimana saklar
lampu berada.
OMG!!! I can’t believe what i’ve
see.
Setelah mematikan lampu, Bu
Chintya berjalan kearah tempatku
berbaring, dan melewatiku yang
ternganga dan sibuk
mengalihkan pandangan.
Beliau berjalan menuju kekamar
mandi yang terletak tepat
dibelakangku, tepatnya diatas
kepalaku.
Tampaknya beliau menggosok
gigi, beliau sedang bersiap-siap
untuk tidur.
Bu Chintya hanya dengan G-
string hitam menutupi bagian
bawahnya, oh My God, I cant
realized what I’ve see.
Dan G-string itu menjawab
misteri belahan pantat yang
terlihat jelas dibalik celana abu-
abu tadi. Ternyata Bu Chintya tadi
mengenakan G-String
didalamnya.
Dan apakah aku bermimpi saat
ini? Aku tidak tahu, aku tidak
mau tahu. Dan dengan cepat aku
menyusupkan kakiku dibalik
selimut. Andaikan ini mimpi,
sungguh aku berharap aku tidak
terbangun dari tidurku.
“Sebenarnya saya tidak suka
celana jeans diatas tempat tidur
dim” tiba-tiba Bu Chintya sudah
berdiri lagi disamping tempatku
berbaring, tepatnya disamping
kepalaku.
Tapi karena sudah terlanjur ya
tidak apa-apa” begitu lanjutnya
sambil berjalan mengelilingi
tempat tidur, dan kembali
menyusupkan kedua kaki
jenjangnya kedalam selimut dan
berbaring sambil memindah
chanel televisi. Beliau tampak
beberapa kali memindah saluran,
tapi sepertinya tidak ada yang
menarik baginya.
Kini dia berbaring
membelakangiku, menghadap
sisi dimana televisi LCD 32” itu
digantungkan. Dan dengan
segenap jiwa, aku mencoba
memberanikan diri membuka
pembicaraan. Aku anggap saat
ini sebagai sebuah mimpi, so, its
free to me to speak up!!!
“ehm, Ibu suka John Lennon?”
begitu kalimat pembuka yang
otomatis kuucapkan ketika
melihat Bu Chintya berhenti
memencet-mencet remotenya
pada salah satu channel music
“yakk, i love The Beatles, dan
tolong berhenti memanggil saya
Ibu” begitu ujarnya tegas
“kalau nggak boleh panggil Ibu,
terus saya harus panggil gimana
ni bu?”
“ya terserah kamu mau panggil
gimana. Yang pasti disini kan
bukan dikampus, kalau kamu
panggil aku Ibu, kok kesannya
aku ini sudah tua banget.
Padahal, bisa jadi kamu lebih tua
dari aku lho” begitu jawabnya
bercanda
“ya, nggak lah bu, saya ini kan
masih mahasiswa, young
teenager yang masih energik
dan bersemangat”
“whatever you say. Yang pasti
aku kuliah S1 tahun 2001, so,
paling kamu 3-4 tahun lebih
muda. Itu juga kalau kamu
SMUnya lancar.”
“eh, saya SMUnya malah cuma 2
tahun bu”, jawabku berkelakar
“jangan panggil aku Ibu,,, thats
the point.” ujarnya kemudian
“you can call me chintya, atau
teman-teman dekatku biasa
memanggil cinta”
“eh, begitu ya cin,,” sahutku
bergumam “canggung ah kalau
panggil seperti itu, gimana kalau
“kak” atau “mbak” atau gimana
lah,, saya canggung bu, eh,
mbak..”
“kenapa nggak manggil tante
saja!! biar puas sekalian. Kamu
ini bikin aku merasa tua saja”
jawab Bu Chintya ketus sambil
tetap tertawa ringan
“OK deh mbak, saya panggil
cinta… Ngomong-ngomong,
kalau saya disini, nggak ada yang
marah apa mbak,, eh, cin?”
“maksudmu, kamu bertanya apa
aku tidak punya pacar,, begitu?”
ujarnya sambil berbalik
menghadap kearahku. Sorot
matanya terlihat serius dan
menatap tajam mataku
“eh, ya bukan begitu mbak,,, eh,
ya tapi mungkin bisa begitu
maksudnya, atau,,,”
aku jadi salah tingkah sendiri
dengan pertanyaanku.
Tampaknya aku juga salah
bertanya
“dimas,sepertinya kamu harus
banyak belajar tentang wanita.
Masa’ kamu bertanya seperti itu
kepada perawan tua seperti
saya?” lanjutnya sambil tetap
menatap mataku
“eh, bukan begitu maksud saya
mbak,, eh,, saya cuma….”
“nggak apa-apa kok, aku cuma
merasa familiar dengan
pertanyaanmu barusan.
pertanyaanmu itu seperti
pertanyaan papaku saja”: “kapan
kamu nikah cin?? Ngga mungkin
lah gadis cantiknya papa gak
laku-laku??” sambungnya lagi
dengan nada serius
“eh” aku benar-benar tambah
salah tingkah dengan ucapan
beliau. Aku tidak bisa berkata
apa-apa, dan memang sepertinya
aku salah bertanya. Sorot
matanya yang tajam itu seolah
melucuti mentalku yang tiba-tiba
hancur runtuh. Dia benar-benar
menelanjangi mataku dengan
wajah cantiknya yang sangat
dekat dihadapanku, sangat-
sangat dekat. Mungkin hanya
berjarak 5cm dari hidungku. Dan
aku benar-benar merasa
terpojok dengan ucapannya
Namun tiba-tiba dia tersenyum
dengan senyuman yang sangat
teduh dan menenangkan. Raut
mukanya tiba-tiba berubah
seolah mengatakan: “aku hanya
bercanda, aku tidak marah kok”.
Dan kami saling bertatapan
sangat dalam.
Sungguh aku terpesona dengan
kecantikannya. Kecantikan khas
seorang Indo yang menurutku
tidak mungkin ditandingi oleh
siapapun juga.
Dan ditengah kekagumanku
akan wajah menawan itu, tanpa
berkata apa-apa, tiba-tiba dia
memajukan kepalanya, dan
dengan cekatan dia memagut
bibirku. Aku benar-benar kaget
dan tidak menyangka hal ini
terjadi. Jantungku berdegup
sangat kencang, darahku seakan
mengalir sangat deras kearah
kepala.
Aku menyadari bahwa aku
sedang bercumbu dengan idola
dari segala idola. Aku dapat
merasakan dengan jelas aroma
nafasnya yang wangi, bibir
basahnya yang menghisap pelan
bibirku, dan lidahnya yang mulai
bermain dirongga mulutku.
Semakin lama, bibir kami terpaut
semakin dalam, hingga tak sadar
tanganku telah memeluk erat
tengkuknya, dan kami tidak lagi
berbaring berdampingan,
melainkan aku telah berada
diatasnya.
Perlahan aku memberanikan diri
untuk menggeser cumbuan
bibirku, aku memberanikan diri
mencumbu bagian leher hingga
belakang telinganya, dan
tampaknya dia sangat
menikmatinya. Sungguh aku tak
percaya dengan apa yang
kulakukan. Sesaat aku
menghisap daun telinganya
perlahan, dan aku bisa membaui
dengan jelas aroma wangi yang
selama ini hanya terasa samar.
Sungguh seorang wanita yang
cantik dan spesial.
“dim, boleh kubuka ini?” kata
Chintya tiba-tiba sambil
menyingkap kaos hitamku. Aku
tidak menyahut dan
menjawabnya dengan membuka
kaos yang kukenakan.
Dan tak lama kemudian, Chintya
sudah asik memainkan dadaku
dengan lidahnya yang hangat.
Aku sungguh merasa
melambung tinggi dengan
permainan lidahnya, dan aku
sengaja bergeser dan berbaring
hingga Chintya lebih bebas
mengexplore tubuhku.
Dan tanpa dipersilahkan, Bu
Chintya sudah telungkup
menindih perutku. Mulutnya yang
lembut tak henti-hentinya
menjilat wilayah dadaku, dia
terus melakukan ritual tersebut
hingga lidahnya kembali menuju
bibirku, dan sekali lagi kedua
bibir itu berciuman erat. Dia
kembali mencumbu erat bibirku,
dan melanjutkan kecupanya
hingga wilayah leher dan
telingaku. Tanganku pun dengan
sigap memeluk erat pinggulnya
sambil mencumbu bagian bawah
lehernya.
“boleh tangan saya masuk Cin?”
tanyaku sambil tetap menikmati
permainan lidahnya. Kali ini
jemariku sudah mulai berani
menyusup melalui bagian bawah
kaosnya dan meraba bagian
punggungnya. Dapat kurasakan
punggung yang halus itu
bersinggungan dengan jariku
Chintya pun menghentikan
usapan lembut lidahnya di
bagian belakang telingaku, dan
berbisik pelan: “mau masuk
kemana memangnya?”
“eh,, mau masuk kesini, eh,
mbak”, kataku gugup, sambil
menghentikan jemariku yang
tengah meraba bagian perutnya
yang rata dan terawat.
Dan, Chintya pun tidak menjawab
pertanyaanku, dia hanya
tersenyum cantik sambil
menggenggam bagian bawah
kaosnya, kemudian
menyingkapnya keatas dengan
cekatan.
Yah, dia membuka penutup atas
tubuhnya itu yang ternyata
sudah tidak dilapisi bra
didalamnya.
Dan mataku kembali terbelalak
ketika atasan itu tersingkap
melewati bagian dadanya.
Sebuah pemandangan yang
terindah yang pernah kulihat.
Sepasang gumpalan daging
tersembul dibalik kaos itu, sangat
halus dan lembut. Saking
halusnya, dapat kulihat alur urat
yang tersembunyi tipis dibalik
kulitnya.
Sungguh payudara terindah yang
pernah kulihat.
Ukurannya tidak terlalu besar,
mungkin sekitar 34an, tetapi
ukurannya sangat proporsional
dengan tubuhnya, ditambah lagi
dengan putingnya yang mungil
berwarna coklat kemerahan
menghiasi ujung-ujungnya.
Sangat-sangat sempurna, im
really speechless
Saking kagumnya dengan
payudara itu, aku tidak
menyadari tangan nakalku sudah
meraba lembut bagian bawah
gumpalan daging itu,
“eh,, boleh saya…”
“sure..” katanya memotong
kalimatku sambil kembali
telungkup dan melumat bibirku.
Mendapat perlakuan seperti itu,
aku pun tak mau kalah.
Seolah telah mendapat ijin,
akupun melayangkan serangan-
serangan yang lebih berani.
Kedua tanganku segera meremas
lembut payudara indah itu, dan
permainan Chintya pun semakin
mengganas.
Dia tampaknya tidak memberikan
kesempatan bagiku untuk
memegang kendali. Bibir
mungilnya semakin agresif, dia
menorehkan cupang merah tipis
didadaku, hingga menjelajahi
perut bawahku sambil menyibak
selimut yang masih sedikit
menaunginya.
Sangat-sangat liar, bahkan aku
tidak kesampaian merasakan
puting merah itu dengan bibirku.
Sambil bibir mungilnya terus
beraksi, dia menarik turun
resliting celanaku, “no jeans in
my bed” begitu bisiknya
ditelingaku sambil tersenyum
menggoda.
Dan aku hanya bisa pasrah ketika
ternyata Chintya tidak hanya
berniat melucuti celana jeansku.
Dia mencengkeram jeans berikut
celana dalamku, menariknya
turun dengan cekatan, dan
melepaskanya dari kakiku hingga
aku benar-benar dibuat bugil
dihadapnya.
Sekali lagi aku merasa bahwa
aku sedang bermimpi, aku
sedang bugil dihadapan idola
kami semua.
Sungguh aku tidak percaya,
Chintya sedang mencumbu perut
bagian bawahku, dengan
pangkal pahaku yang terbuka
lebar tanpa seuntai benang pun
menutupinya. Sungguh terasa
bagaikan mimpi, imajinasiku
melayang jauh dan aku tidak
pernah merasakan moment
seindah ini, seorang wanita yang
kupuja, sedang bermain-main
dipangkal pahaku.
Dan sekali lagi Chintya
menunjukkan keajaiban lidahnya,
kali ini serangannya diarahkan
pada bagian bawah perutku.
Yak, dia mencoba membunuhku
dengan jilatan-jilatan maut
dibawah sana. Dan tak lama
kemudian, tangan kanannya
memegang erat batang yang
sudah berdiri tegak disana. Dan
sambil menatap mataku dia
mengecup bagian kepalanya, dan
segera memasukkan batang itu
kedalam mulutnya. Sungguh
sekali lagi aku merasa terbang ke
awan.
Tidak seperti lumatan-lumatan
yang pernah kurasa, lidah Bu
Chintya benar-benar ajaib, dia
benar-benar mampu
memainkannya dibawah sana,
just like a french kiss in my
junior.
Begitupun dia tidak perhenti
disitu, setelah puas menghisap
bagian batang, Bu Chintya
menggeser mulutnya kebawah,
dan inilah pertama kali aku
merasakan sensasi rangsangan
di bagian paling bawah sana.
Chintya melumat habis pangkal
bola-bolaku, dan melanjutkannya
dengan mencumbu area sun
hole-ku dengan liarnya.
Dan tampaknya dia begitu
menikmatinya. Dia melakukannya
sambil terus memainkan bola-
bolaku, sungguh suatu sensasi
yang luar biasa.
Sejenak, ingin rasanya aku
membobolkan saja
pertahananku dan mengaku
kalah. Bibir Bu Chintya adalah
bibir paling gila yang pernah
kuhadapi. Namun aku masih bisa
berpikir sehat. Aku segera
menarik bagian pangkal pahaku
itu dari cengkeramannya, dan
segera memagut bibir ajaib itu
dengan bibirku.
Dengan cepat pula, kubaringkan
Chintya karena kali ini aku ingin
menguasai permainan. Aku pun
segera berganti menunjukkan
potensiku. Kembali kurangsang
bagian leher Bu Chintya, kujilat
perlahan, hingga turun sampai
bagian payudara. Bagian yang
sangat kunanti dari tadi.
Kubenamkan mukaku diantara
kedua payudara itu, sungguh
payudara yang paling lembut
yang pernah kurasakan.
Tanganku pun tak mau kalah,
kuremas payudara kanan
dengan tangan kanan, sambil
lidahku mulai bermain dengan
puting kirinya. Bagaikan buah
cherry yang sangat manis, aku
mengulum lembut puting itu,
sungguh rasanya sangat
menggairahkan. Ini adalah
puting paling sempurna yang
pernah dirasakan bibirku.
Merasa sudah menguasai
keadaan, aku mulai memainkan
ritme permainan. Sesaat kuhisap
puting itu lebih dalam, sambil
meremas payudara kanannya.
Demikian aku bergantian
bermain dengan kedua
gumpalan menakjubkan itu.
Sesaat aku mencoba menyentuh
lembut lingkaran penyangga
puting itu dengan telunjukku,
sesaat pula dapat kurasakan
puting itu mulai mengeras
kencang disertai munculnya
bulu-bulu halus yang berdiri
diatas kedua bukit indah itu.
Sungguh sepasang payudara
yang sangat cantik, sangat indah
dengan bintik2 bulu roma yang
menghiasinya, aku jadi semakin
bergairah melihatnya, dan
akupun tak mau menyia-nyikan
moment ini.
Permainan bibirku mulai
menjamah bagian perutnya yang
rata. Sambil tangan kiriku tetap
mencengkeram satu dari dua
bukit indah itu, tangan kananku
menekan bagian punggungnya
perlahan. Tampaknya Bu Chintya
benar-benar menikmati
permainanku, dan akupun
memberanikan diri mengexplore
bagian bawah perutnya dengan
lidahku. Yah, aku mengecup
lembut belly buttonnya dan
mencoba bermain sedikit lebih
kebawah sana.
Menanggapi perlakuanku, Bu
Chintya tidak terlalu terlihat
keberatan. Dia malah terlihat
sangat menikmati dan sedikit
membuka pangkal pahanya.
Bahasa tubuhnya seolah
memberiku ijin untuk beranjak
ke bagian itu. Segera aku kembali
menurunkan kepalaku. Kali ini
aku mencumbu bagian dalam
pahanya, tanganku pun sekarang
sudah memegang erat kedua
pinggulnya, dan akhirnya aku
mulai berani mencium bagian
segitiga G-string yang menutupi
surganya.
Sungguh suatu pengalaman yang
tidak pernah akan kulupakan.
Aku sedang menghirup bagian
paling intim milik Bu Chintya, aku
merasakan sensasi yang paling
dahsyat yang pernah kurasakan
selama ini.
Gairahku semakin menggebu,
dan akhirnya kuberanikan diri
menyusupkan lidahku ke sela-
sela bagian bawah segitiga cinta
itu. Tangan kanan ku mencoba
menyibak kain hitam itu, dan
bibirku mulai mengecupnya
perlahan, rasanya sungguh
indah, agak terasa asin, tetapi
aromanya sangat lembut.
Sungguh-sungguh indah.
Bu Chintya yang tampaknya
sudah sangat pasrah itu akhirnya
menyangga kepalaku dengan
tangan kanannya. Tanpa berkata
apa-apa, dia meraih tali pengait
segitiga itu dengan tangan
kirinya, dan dengan perlahan dia
menurunkan G-String itu dengan
tangan kirinya. Aku yang sedang
dimabuk gairah pun segera
tanggap, kubantu dia
menurunkan segitiga bertali itu,
dan melepaskannya dari kakinya
yang jenjang.
Dan dengan segera, seperti
seorang anak kecil yang sedang
dijamu dengan dengan sekotak
permen lezat, aku pun segera
kembali dengan daerah segitiga
yang menakjubkan itu.
Kini tubuh wanita pujaan itu
telah benar-benar telanjang. Aku
benar-benar takjub dengan
keindahannya, lekuknya yang
sempurna dibalut dengan kulit
yang putih, tipis dan lembut.
Ahh,, ternyata Bu Chintya yang
kami puja selama ini tidak hanya
pintar dan cantik, beliau sangat
sempurna seutuhnya, sangat
terawat.
Bagian pangkal paha itu terihat
sebagai bagian segitiga yang
ditumbuhi dengan bulu-bulu
lembut. Tampaknya Chintya
sangat rajin mencukurnya. Pun
begitu, tepat pada bagian
bawahnya, terdapat sekatup
bibir mungil berwarna merah
muda. Pintu surga itu terlihat
begitu rapi, hanya terlihat
sebagai segaris lubang yang
berwarna kemerahan.
Tanpa diberi aba-aba, aku pun
segera kembali menjamu
segitiga cinta itu. Kali ini aku
merasa sangat bebas, tidak ada
lagi sehelai benang pun yang jadi
penghalang. Aku mulai
mengecup pelan bibir cantik
dibawah bulu-bulu tipis itu, dan
tampaknya Chintya sangat-
sangat menikmatinya, dan
akupun menikmatinya.
Samar-samar mulai kurasakan
aroma wangi yang sempurna,
aroma yang mungkin dapat
mengalahkan nikmatnya rasa
sabu yang dulu sering kuhisap
jaman SMU. Perlahan tapi pasti,
aku memagut bagian itu dengan
bibirku, lalu kembali kuhisap
perlahan. Dengan sedikit
keberanian, tanganku pun mulai
turut meraba bagian itu. Kucoba
membuka tangkupan dua bibir
itu dengan jemariku, dan kulihat
jelas liang berwarna merah
muda yang begitu indah.
Tampaknya sangat hangat dan
nyaman didalam sana. Dan
kembali aku memberanikan diri
mengeksplore lubang itu dengan
lidahku.
Kali ini, kucoba memasukkan
lidahku kedalamanya dengan
bantuan kedua tanganku yang
menyingkap pintu cinta itu. Kali
ini, aku benar-benar merasakan
aroma yang sangat memabukkan
itu, sangat membangkitkan
gairahku. Dan dengan segera,
aku memainkan lidahku didalam
sana, menghisap perlahan,
kemudian menghisap kuat,
demikian aku mencoba mencari
ritme yang tepat dalam
menangani bibir terindah ini.
Aku mencoba memainkan
lidahku dengan maksimal disini,
sambil tangan kananku
merangsang bagian klitoris Bu
Chintya. Dan tampaknya dia
sangat-sangat menikmatinya.
Setelah sesaat bermain dengan
ritmeku, aku mencoba
mengubah pola serangan. Kali
ini, bibirku menghisap lembut
bagian klitorisnya. Disini lidahku
pun turut bermain, kuhisap
sambil sesekali menekan bagian
itu dengan lidahku.
Perlahan tapi pasti, aku
kemudian memberanikan diri
memasukkan telunjuk kananku
yang dari tadi sudah memegang
erat kulit berwarna kemerahan
itu. Dan, ketika seluruh
telunjukku tercelup didalamnya,
Chintya tiba-tiba mencengkeram
kepalaku dengan tangan
kanannyanya yang sedari tadi
menyangga kepalaku.
Sejenak aku tiba-tiba tersadar,
kali ini aku memasuki daerah
privatnya tanpa mohon ijin
terlebih dulu.
Aku sedikit terkejut dan kembali
gugup, secara reflek aku segera
menarik keluar jariku dari lubang
itu, tetapi dengan segera pula Bu
Chintya memegang tanganku
dengan tangan kirinya.
Yak, dia mengijinkan jemariku
bermain didalamnya, dan tanpa
berkata apa-apa, dia
membimbing jari nakal ini masuk
kedalam miliknya yang sangat
berharga itu.
Sungguh aku dapat melihat raut
wajah cantik itu yang kini
sedang dibara gairah, aku
melihat dia sangat menikmati
permainanku, dan dengan sigap
pula, aku merangsang kembali
daerah klitorisnya dengan
bibirku, sembari jemariku
mencari-cari daerah G-spotnya
didalam sana.
Tidak butuh waktu lama untuk
mendapatkan area paling sensitif
itu. Tak lama jariku bermain
disana, Chintya semakin
membuka lebar pangkal
pahanya. Dia kini tidak hanya
mendesah dan menatapku nakal.
Bu Chintya sudah tidak malu-
malu lagi untuk mengerang. Kaki
jenjangnya sedikit ditarik keatas,
dia sedikit melipat lututnya, suatu
tanda bahwa dia sungguh
terbuai dalam permainan
jemariku.
Pun demikian, aku pun semakin
bergairah, aku semakin cepat
menggerakkan jariku didalam
sana, kutekan kuat pagian G-
Spotnya sambil lidahku terus
memainkan klitorisnya, jemari
dan lidahku kini sudah masuk
gigi 5. Aku semakin cepat dan
liar bermain dengan lubang cinta
itu.
Namun tiba-tiba Chintya
mengapit erat kepalaku dengan
lututnya. Dia menjepit kuat
kepalaku sambil tangan
kanannya menekannya kedalam.
Dan segera setelahnya, aku bisa
merasakan tubuh itu terguncang,
aku bisa merasakan, tubuhnya
sedikit kejang, dan,, aku kembali
kaget dibuatnya, seiring dengan
teriakan yang keras, tiba-tiba dia
menggelinjang hebat, jemariku
merasakan ada kedutan hebat
didalam sana,,, dan tidak putih
bening kemukaku.
Yess, dia sudah sampai… and she
squirt in my face!!
dan aku tidak bisa mengelak
sama sekali, secara reflek aku
meronta mencoba melepaskan
kepalaku, tetapi cengkeraman
pahanya terlampau kuat, dan
sampai saat ini pula, paha lembut
itu masih mencengkeram kuat
kepalaku.
Aku hampir tidak percaya
dengan apa yang kualami, Bu
Chintya mencapai puncak dan
menyemprot mukaku dengan
cairan cintanya memabukkan.
Aku sangat terkejut, tetapi
sebenarnya aku sangat
menikmatinya. Pun begitu Bu
Chintya yang sudah terkulai
lemas, aku bisa melihat tubuhnya
yang masih sedikit gemetar,
wajahnya sangat-sangat erotis,
sepertinya dia baru saja
mengalami orgasme paling
dahsyat yang pernah
dirasakannya.
***Aku kemudian beranjak ke
sudut ruangan berinisiatif
mengambil beberapa lembar
tissue, dan mengelap mukaku
yang agak lengket,
“kamu baik2 saja kan cin?”
tanyaku sambil berbaring lagi
disisinya
“eh,, maaf ya dim, aku sendiri
tidak terpikir kalau bakal sampai
kaya gitu” tangannya dengan
reflek menarik lembar tissue
yang kupegang dan segera me-
lap bagian pipiku yang ternyata
masih sedikit basah.
“tidak apa-apa kok, aku juga
menikmatinya”
“serius,, ini pertama kalinya
sampai seperti itu, aku benar-
benar tidak menyangka sampai
seperti itu” jawab Chintya sambil
memeluk aku erat.
Dan akhirnya, malam itu kami
melanjutkan sesi bimbingan TA
dengan bercerita panjang lebar
tentang keseharian kami,
tentang keluarga kami, tentang
kesibukan-kesibukan kami.
Maklum, pada dasarnya aku dan
Bu Chintya masih belum terlalu
mengenal satu sama lain.
“jadi, sekarang mamamu masih
tinggal di Jakarta bersama
suaminya yang baru itu?”
tanyaku menanggapi cerita
Chintya.
“begitulah” jawabnya pelan.
“ooh,, beliau punya anak
lagikah?”
“nggak sih,, cuma ada suatu hal
yang dulu bikin aku nggak
nyaman tinggal disana”
“kenapa??”
“well, si om bule itu hypersex.”
“heh?? maniak gitu??”
“yupss. dan aku pernah tinggal
bersama mereka selama 2tahun”
“haha.. yang kamu ceritakan
waktu kamu SMU itu ya? Trus,
apa hubungan antara hypersex
dengan ketidaknyamananmu
tinggal bersama mereka? Toh si
om bule itu kan papa-mu, bukan
suamimu?”
“yahh,, masalahnya bukan cuma
hypersex doang dim. dia juga
orang naturist. Kalau dirumah
mamaku sana, begitu masuk
gerbang udah wajib bugil. Itu
berlaku buat semua orang yang
tinggal disitu.”
“whatsss??? jadi kamu juga
ikut2an nudis gitu??”
“nggak cuma saya honeyy,
disana dari sopir nyampe tukang
kebon juga bugil semua.”
“begitukah?? are u serious??”
Aku seperti tidak tahu harus
menjawab apa lagi. Tampaknya
Chintya memang memiliki
pengalaman yang luar biasa
dalam hidupnya. Dia banyak
bercerita tentang masa lalunya,
dan tiba-tiba aku merasakan
empati yang sangat dalam,
sebuah perasaan seolah tidak
terasa lagi ada jarak antara kami.
Seolah seperti sepasang kekasih/
sahabat yang sedang berbaring
dan sharing berdua
“uhm,, kembali ke masalahmu
tadi Cin, emang kalo menurutmu
kamu trauma dengan masa
lalumu, lalu apa dampaknya di
masa sekarang?” aku kembali
bertanya mencoba mengenal
dosenku itu lebih dekat.
“well, kita bahas topik ini lain kali
lagi saja ya dim, kamu belum
dapet kan?” katanya sambil
kembali memelukku mesra.
Tampaknya dia belum ingin
membahas sampai sejauh itu,
dan akupun harus
menghormatinya
“kalau aku sih, asal kamu senang
sudah bisa dibilang dapet kok
cin. gue ikhlas” jawabku
cengengesan
“Dasar mulut buaya!! sekarang
kamu sudah berani merayu
saya…” sahutnya tersipu sambil
mencubit lenganku keras-keras
“Ehmn, Dim, kamu percaya sama
aku kan?” lanjut Chintya sambil
meraih laci disamping tempat
tidur. Aku tidak menjawab dan
hanya mengangguk kecil
“okeey,, tangan kamu diikat dulu
yaa,,” katanya sambil
mengeluarkan seutas kain
panjang dan mengikat kedua
tanganku ke bagian atas tempat
tidur. Aku mulai berpikir aneh-
aneh, sejenak aku ingin menolak
apa yang dilakukan Bu Chintya
padaku. Tapi, aku penasaran
juga dengan rencananya, so,
ikuti saja deh,, hehe
“aku mau diapain hon?”
“diem ah,, trust me honey”
jawabnya sambil kembali
mengecup bibirku. Aku sendiri
tidak bisa banyak bergerak
dengan kedua tangan yang
terikat erat diatas kepala,
sedangkan tampaknya bibir
maut itu akan kembali
mengeksekusi titik-titik lemahku.
Perlahan, Chintya menggeser
kembali kecupannya kearah
leherku, sedikit cupang panjang
disana, dan kemudian turun
kearah dada. Bagian ini
tampaknya bagian yang paling
disukainya, lidahnya yang lembut
bermain dengan putingku,
sambil kedua tangannya mimijit-
mijit bagian samping dadaku. Di
babak pertama ini aku sudah
mulai bisa merasakan sensasi
Chintya. Sebuah teknik-teknik
yang baru kutemui dalam
bercinta, diselimuti oleh paras
yang sungguh-sungguh
menggoda.
Perlahan, dia kembali menggeser
posisi bibirnya, kali ini kecupan-
kecupan itu diarahkan kebagian
samping dadaku, dan, dia
bermain dengan ketiakku. Aku
meronta keras, kukatakan
padanya bahwa ini keterlaluan,
“Geli banget Cin, kamu
menyiksaku”,, begitu ujarku. Tapi
tampaknya Chintya tidak peduli
dan terus melancarkan aksinya.
Dan ternyata teknik yang satu ini
juga sangat mengerikan. Rasa
geli yang perlahan berubah
menjadi sebuah rangsangan
yang mahadahsyat. Seiring
dengan rabaan-rabaan
tangannya yang sedikit memijit,
Chintya benar-benar bak seorang
sex machine yang istimewa.
Selama beberapa saat Chintya
menyiksaku, tampaknya dia
sudah cukup puas dan berniat
memulai permainannya di bagian
bawah.
“Sudah panas kan?” katanya
sambil sambil tersenyum kecil
dan memegang batangku yang
sudah berdiri keras.
Dan tanpa banyak bicara lagi,
dimasukkannya batang itu
kedalam mulutnya.
Yah, Chintya segera
mengulumnya dengan
bersemangat, dan dia langsung
memainkan ritme permainan oral
terdahsyat yang pernah
kurasakan. Sesekali setelah lidah
hangatnya bermain lincah,
dihisapnya batangku kuat-kuat,
seolah dia ingin menyedot habis
seluruh isinya.
Sambil terus bermain-main
dengannya, tangan Chintya
meraih dua bantal disisi kiri
tempat tidur,
“diganjal bantal ya dim” katanya
sambil menyusupkan dua bantal
itu dibawah pantatku. Aku yang
sudah merasa keenakan pun
pasrah saja, kuangkat pantatku
sesuai dengan apa yang
diingininya, dan kini, posisiku
agak berasa tidak nyaman,
punggung dan pantatku
terganjal oleh bantal yang
tampaknya cukup tinggi. Aku
agak heran sebenarnya apa
rencana Chintya, tapi kembali
lagi, aku pasrah saja.
Chintya kemudian mengambil
posisi tepat dbawah selakangku,
dan kemudian kembali dia
memasukan batangku ke bibir
mungilnya, tangan kirinya
memegang testikelnya dan
tangan kanannya memegang
pangkal batangku. Aku tidak bisa
melihat terlalu jelas apa yang
terjadi disana, tapi aku kembali
merasakan sensasi yang luar
biasa.
Sejenak setelahnya, aku
merasakan kepala penisku
bersentuhan dengan bidang
yang sangat hangat dan licin,
saat itu pula kurasakan sensasi
yang luar biasa diujung
kemaluanku, sembari kudengar
Chintya sedikit batuk-batuk dan
mengeluarkan penisku dari
mulutnya.
Dan,, ternyata dia melakukan
deep throat. Bu dosen satu ini
memang gila, dan ini adalah
pengalaman deep throat
pertamaku. Dan malam ini
Chintya memberiku deep throat
tidak hanya sekali, melainkan
berkali-kali.
Sensasi rasanya benar-benar gila,
sepertinya aku hampir ejakulasi
dibuatnya.
Sesi oral pun berakhir, saat ini
Chintya kembali memeluk aku.
Tubuhnya yang gemulai
bergelayut mesra diatasku
“sekarang menu utama yuk,,”
begitu bisiknya memanja
ditelingaku…
Sambil tangan kirinya tetap
memeluk leherku, Chintya meraih
kembali senjataku dan
mengarahkannya kebagian
pangkal pahanya yang memang
sudah berada tepat diatasnya.
Yah, Chintya memasukkan kepala
batangku kedalam lubang yang
berhias bulu lembut itu, dan tak
lama kemudian dengan sedikit
menindihku, seluruh batangku
telah bersemayam didalam
lubang hangatnya.
1001 rasa penasaran yang
selama ini berkecamuk hilang
sudah. Kini aku telah merasakan
hangat dan nikmatnya liang itu.
Sangat hangat dan rapat, bahkan
jika batang kesayanganku itu
bisa membauinya, kukira dia pun
akan terkesima dengan aroma
wanginya.
Chintya pun memagut bibirku
sambil sedikit menggoyangkan
pinggulnya, tidak naik turun
tetapi memutar perlahan. Wew,
bahkan teknik goyanganya pun
dahsyat, tidak banyak bergerak,
tapi dapat kurasakan batangku
dipijit dengan sempurna.
Dan perlahan kusadari,
sepertinya pijitan ini tidak hanya
bermuara pada goyangan
pinggul semata, tetapi
tampaknya dinding-dinding
kemaluan Chintya turut berperan.
Lubang ini menggigit rapat dan
dapat kurasakan sedikit
berdenyut teratur, ini juga baru
kali ini kurasakan.
Hal ini kusadari ketika Chintya
beranjak dan menjamuku
dengan posisi duduk. Dengan
senjataku yang masih tertancap
disana, kurasakan pijitan-pijitan
lembut itu walau Chintya tidak
banyak menggerakan
pinggulnya.
Dan, aku tidak menyangka
bahwa menit-menit kedepan
adalah waktu yang tidak akan
pernah kulupakan seumur
hidupku. Mungkin bila aku bisa
memutar balik waktu, aku akan
selalu memutar menit-menit itu
sambil mengaktifkan fitur slow
motion.
Dengan posisinya yang
mendudukiku, Chintya kembali
menggoyangkan pinggulnya.
Kali ini tidak memutar maupun
maju mundur, melainkan naik
turun. Tubuhnya yang semampai
itu seakan menduduki bantalan
trampoline. Sekilas aku merasa
miris dengan perlakuannya.
Dengan sedikit berjongkok,
Chintya menarik pangkal
pahanya keatas hingga tiga
perempat batang penisku keluar
dari sarangnya, dan dengan
cekatan pula dia menimpanya
kembali. Yah, dia mengocok
batangku dengan kencang
dengan posisi pinggulnya yang
naik-turun tajam itu.
Jujur, aku sedikit takut kalau-
kalau dia sedikit meleset dan
mematahkan senjataku yang
sangat berharga itu. Tapi,
kekhawatiran itu segera sirna
terhapus sensasi yang kembali
kurasakan.
Chintya memperlakukan senjata
yang benar-benar berdiri keras
itu seperti mainan, seperti dildo
stainless yang tak punya jaringan
syaraf, dan kali ini aku benar-
benar ingin menyerah dan
memuntahkan cairan cintaku,
aku tak kuasa mengimbangi
wanita cantik yang tiba-tiba
menjadi sangat liar ini. Dapat
kulihat jelas ekspresi mukanya
saat ini, dia tidak hanya sekedar
mencoba memuaskanku, dia
kembali turn on, dan aku wajib
mengimbanginya.
Tapi semakin aku melihat wajah
cantiknya, semakin ingin rasanya
aku mengakhiri permainan ini.
Whatever, aku memang tidak
mampu melayaninya.
Tapi tiba-tiba, Chintya mengakhiri
gerakan naik turun yang dahsyat
itu.
Dia merebahkan tubuhnya,
memeluk aku erat, sambil tetap
mengocok kencang batangku
dengan goyangan pinggulnya
super cepat itu.
Dan tentu saja pada akhirnya aku
segera tewas dan mengakhiri
pertahananku. Aku benar-benar
tidak tahan dengan
perlakuannya, dan kali ini aku
benar-benar tak bisa berkutik
dan harus menyerah kalah
Chintya tengah memelukku erat
sambil sambil mengggoyangkan
pinggulnya maju-mundur
dengan cepat saat batangku
mulai kejang-kejang.
Pinggul indah itu bergerak
dengan kerasnya seolah penisku
hanya mainan tak bernyawa.
Dan seiring dengan dengan
senjataku yang mulai muntah
dan mengaku kalah, ritme
goyangan Chintya perlahan-lahan
mulai melambat, dan dapat
kurasakan kembali cengeraman
pahanya yang mulai bergetar,
seiring dengan kedutan ringan
yang memijit lembut kemaluanku
yang masih tertanam
didalamnya. Dan perlahan-lahan,
lubang menakjubkan itu
mencengkeram penisku sangat
erat. Ternyata, Chintya pun
mendapatkan orgasme untuk
yang kedua kalinya…
Yah, liang hangat itu seakan
menyedot batangku dengan
kerasnya seiring dengan
bobolnya pertahananku.
Dan kembali aku menangkap
ekspresi muka cantik Chintya
yang seolah mengatakan bahwa
dia baru saja mendapatkan
orgasme yang hebat.
Selama beberapa saat tubuh
indah itu bergetar lemah diatas
tubuhku, dan tak lama kemudian
sosok cantik itu benar-benar
lemas tak berdaya.
Perlahan-lahan, Chintya
menggeser tubuhnya sambil
melepaskan liang terindahnya
dari kemaluanku dengan hati-
hati.
Tanpa berkata apa-apa, dia
membaringkan tubuh indahnya
disampingku, dan tak lama
kemudian, idola dari segala idola
itu sudah terbaring lelap disisiku
Dan aku kembali terdiam seakan
tidak percaya dengan apa yang
sudah terjadi. Aku hanya bisa
termangu, mencoba meyakinkan
diri bahwa apa yang terjadi
malam ini bukanlah mimpi.
Dalam hatiku, terbentu sebuah
perasaan yang tidak bisa
didefinisikan. Ada sebuah
kepuasan yang tidak pernah
tertandingi, bercampur rasa
tidak percaya yang masih
menghantui.
Dan akhirnya aku hanya bisa
terheran-heran sambil berusaha
melepaskan tali yang masih
mengikat erat tanganku.
Sungguh malam terdahsyat yang
pernah kualami.