HOME Suamiku Sendiri Tega menjual aku ke orang lain
Kedatangan Herman sungguh
mengembalikan perasaanku
yang dahulu kala pernah
mencintainya. Walaupun ia hanya
beberapa hari liburan di sini,
namun aku sangat bahagia
sekali. Kepulangannya kembali ke
negeri tercinta membuatku
merindukannya, perasaan sedikit
kehilangan terus menghantuiku.
Padahal aku seharusnya
melupakan dia, kini aku sudah
berkeluarga, hidupku pun bisa
dibilang lebih dari berkecukupan.
Aku meninggalkan negeriku
untuk merantau di negeri orang,
di sini, Singapura, aku
menemukan suamiku, John, yang
begitu mencintaiku, padahal
status aku sebelumnya tidaklah
jelas. Aku mempunyai seorang
anak perempuan yang sampai
sekarang aku tidak tahu siapa
ayah kandungnya. Pembaca
mungkin bingung, namun
sebelum bertemu dengan John,
banyak kisah pilu yang aku alami.
Kini aku sudah melupakannya
dan memulai hidup baru dengan
John, namun kedatangan
Herman beberapa hari lalu
kembali membuka lembaran
lamaku.
Koleksi Cerita Panas Terbaru:
Aku Dijual Suamiku –
Sebenarnya aku tidak begitu
mencintai John, namun karena ia
selalu perhatian denganku
akhirnya aku menerima
lamarannya. Ia juga menyayangi
anakku, Olivia. Namun hingga
hari ini aku tidak pernah tahu
apa bisnisnya. Ia selalu pulang
dengan pakaian rapi,
mengenakan jas dan dasi, turun
dari mobil kelas mahal dengan
dibawa sopir pribadi. Ia juga
enggan menceritakannya, namun
tiap malam ia selalu terlihat
stress, percintaan kami di atas
ranjang selalu dengan perlakuan
kasar. Ia mungkin memang
seorang yang hyperseks, namun
aku sebagai istrinya harus
mengerti dan memenuhi apa
kemauannya. Tiap malam
perasaan tersiksa sebenarnya
selalu aku alami, bagaimana
tidak, John selalu berlaku kasar
jika berhubungan seks, selain
hardcore, ia juga menyukai gaya
bondage. Aku kadang berpikir
nasib ku yang begitu jelek,
karena selalu diperlakukan kasar
sejak dulu, sehingga tidak heran
aku merindukan hubungan seks
yang alami atau softcore.
‘KRIIINNNGGGG…’ tiba-tiba suara
telepon rumah berbunyi, aku pun
segera menuju arah telepon dan
mengangkatnya. “Nes, prepare
foods, coz my frens want come
to home later…”. “Oke…”,
jawabku. Tumben sekali John
mengajak temannya datang ke
rumah. Sudah beberapa tahun
hidup dengannya, baru kali ini ia
mengajak temannya makan di
rumah. Aku pun segera beranjak
menuju dapur untuk menyiapkan
makanan, agar nanti suamiku
pulang, masakanku sudah siap
dinikmati. Aku pun mengajak
pembantu rumah tangga kami
untuk membantu agar cepat
menyelesaikan tugas yang
dipesankan John.
Suasana sudah mulai sore,
biasanya jam begini John sudah
pulang. Sesuai prediksiku, tak
lama menunggu John pun
pulang, untungnya masakanku
sudah siap, walau tidak begitu
mewah, namun banyak pilihan
menu yang aku siapkan. John
masuk ke rumah langsung
menuju ruang makan kami. Ia
bersama dua orang temannya,
mereka hitam sekali, sepertinya
keturunan negro, namun
pakaian mereka rapi seperti
John, memakai jas hitam dengan
dasi tersimpul rapi. Mereka terus
berbicara entah bahasa apa
sambil menuju ruang makan.
Bukan bahasa inggris, bahasa ini
cukup aneh, aku sendiri
penasaran sekali. Aku hanya
sedikit menguasai bahasa
inggris, tak heran kadang John
juga menggunakan bahasa
melayu agar mempermudah
komunikasi kami.
“She’s my wife, her name’s Agnes
Monica…”, tiba-tiba John
berbicara dalam bahasa inggris
untuk memperkenalkan aku ke
teman-temannya. “Woo, so
beauty…”, kata seorang
temannya sambil tersenyum
menampakkan giginya yang
terlihat putih dibalik wajahnya
yang hitam. Hamid dan Karim
nama mereka, seperti nama
orang Timur, dugaanku mungkin
mereka dari timur tengah atau
arab, atau afganistan? Sosok
mereka kurang lebih sama,
postur tubuh mereka besar
tinggi, namun kulit mereka hitam
dan berkepala plontos.
Tidak menunggu lama, John
langsung mengajak mereka
makan bersama. Aku sedikit
gugup makan satu meja bersama
mereka, karena aku tidak tahu
apakah mereka hanya sekedar
teman, atau mitra kerja John.
Sambil makan mereka masih
terus berbicara, entah apa yang
dibahas mereka, namun sedikit
tidak nyaman bagiku, karena
sebentar-bentar mereka melirik
ke arahku. Firasatku malah
menjadi tidak enak ketika
mereka berdua tertawa
terbahak-bahak, entah apa yang
membuat mereka ketawa,
apakah John menceritakan kisah
lucu atau apa, aku kurang tahu.
Nafsu makan ku pun mulai
hilang, aku pun kemudian minta
ijin kepada John untuk kembali
ke kamarku. Namun John sedikit
tersinggung, ia malah ngoceh
terhadapku seolah-olah aku tidak
menghargai teman-temannya.
Setelah ku jelaskan dengan
sedikit kebohongan bahwa aku
kurang enak badan, akhirnya aku
pun diperbolehkan
meninggalkan ruangan makan.
Aku pun langsung
menghempaskan tubuhku di
atas kasur, sedikit capek juga
karena menyiapkan makanan
yang cukup banyak. Ranjangku
dengan John yang menjadi saksi
bisu akan percintaan kasar kami
ini sunggub terasa empuk. Ku
pandangi ke arah kanan, lemari
pakaian John terbuka sedikit, aku
pun bangkit untuk mencoba
menutupnya. Pakaian John
tergantung rapi dan harum, aku
jarang sekali membuka
lemarinya, karena John yang
selalu mengurusnya, bahkan
mencuci dan mensetrika
pakaiannya dilakukan oleh
pembantu rumah tangga kami.
Ternyata pintu lemarinya tak
tertutup rapat karena terganjal
sesuatu, saat ku cek di bawah
tumpukan bajunya ternyata ada
sebuah buku tebal yang sedikit
tertarik keluar menahan
tertutupnya pintu.
Aku mengambil buku itu dan ku
tutup kembali lemari pakaian
John. Ku bawa ke dekat ranjang
untuk membacanya sambil
tiduran. Aku sangat penasaran
dengan buku ini, karena tampak
sangat seperti sebuah buku
harian. Aku pun tiduran untuk
membacanya, ternyata benar, ini
adalah diary milik John. Aku
ternyata kaget dengan apa yang
tertulis di buku itu. Kisah
hidupnya tertulis singkat
sebelum ia mengenal aku hingga
sekarang ini.
Aku terdiam membaca
tulisannya, ia adalah seorang
playboy sebelumnya, bahkan dia
juga sering menyewa wanita
bayaran untuk memenuhi nafsu
birahinya. Hampir tiap malam dia
selalu berburu wanita tuna susila
yang mampu ia bayar berapa
pun asalkan John senang. Aku
sedikit penasaran dengab
pekerjaannya, uangnya tidak
habis-habis walaupun ia selalu
main perempuan. John tidak
menuliskan pekerjaannya di sini,
sepertinya ia lebih tertarik
menuliskan hubungan
percintaannya.
Halaman demi halaman ku buka
hingga cerita ketika ia bertemu
denganku. Aku sedikit kecewa
dengan tulisannya, John jatuh
cinta pada pandangan pertama
karena wajahku yang oriental
tampak polos baginya. Dan ia
juga bilang tidak sia-sia
menikahiku karena aku selalu
patuh padanya, serta melayani
nafsunya setiap malam walau
dengan gaya yang kasar. Ya, John
selalu demikian, hubungan seks
kami selalu dengan paksaan, aku
juga mengerti kalau dia seorang
yang maniac. John lebih
menikmati percintaan kami
dengan gaya seperti bondage,
aku diikat baik di tangan, di kaki
ataupun seluruh tubuhku,
kadang aku di ikat di ranjang, di
meja, di kursi, bahkan di ikat
menggantung ke atas. Bukan
hanya itu, John juga menampar
pipi, payudara, dan pantat ku
untuk meningkatkan
kepuasannya. Jika sudah tidak
tahan dengan rintihanku, ia pasti
melakban mulutku dengan isolasi
atau menyumpalnya dengan
celana dalamku. Saking hypernya,
ia membeli peralatan seks untuk
membantunya, seperti penis
mainan yang berbagai macam
tipe dan ukuran.
Membaca tulisannya, aku
mengetahui bahwa John juga
sadar dengan penyakitnya ini, ia
juga menuliskan bahwa ia
sebenarnya kasihan dengan
penderitaanku terhadap
perlakuannya. Walaupun kasar
begitu, ia sayang denganku.
Halaman berikutnya juga
menuliskan hubungan seks kami
dengan berbagai cara yang tiap
malamnya berubah.
Halaman selanjutnya ditulis
sangat berantakan, tulisannya
cukup kasar seperti orang yang
sedang emosi, dan penuh
coretan, di sana tertulis ia
sedang tersandung masalah
hukum. Kini aku mengetahui
latar belakang pekerjaannya
setelah sekian lama ia
merahasiakannya dariku, ia
ternyata seorang bandar judi
dan bandar narkoba. Di sini
disebutkan alamat tempat ia
menjadikan markas telah
digeledah polisi, semua barang
haramnya disita. Ia harus bolak-
balik ke kantor polisi untuk
membuat laporan yang kian
belum tuntas. Sudah puluhan
miliar ia cairkan dana untuk
menghindarkannya dari balik
jeruji besi. Aku hampir menangis
membaca penderitaan yang ia
alami, kenapa harus John
rahasiakan dariku.
John tidak mau aku mengetahui
bisnis haramnya, ia tidak mau
aku kecewa dan sedih. Bahkan
uang simpanannya sudah habis
untuk membebaskannya, kini
hutangnya menumpuk, dan ia
masih merahasiakannya dariku.
Wajahnya yang tiap hari
tersenyum ternyata
merahasiakan masalah sebesar
ini. Bahkan tanah, rumah dan
kendaraan telah John gadaikan
untuk membayar hutang-
hutangnya. Aku langsung
menangis membaca tulisannya
ini. Tak sempat membaca
halaman selanjutnya, aku pun
bangkit karena mengingat anak
perempuanku yang sedang tidur
di kamar sebelah. Tidak ada yang
aku khawatirkan selain dia, jika
John memang jatuh bangkrut,
setidaknya aku harus melakukan
sesuatu agar Chelsea tidak
menderita.
Bermaksud ke kamar sebelah
untuk melihat Chelsea, tiba-tiba
langkahku terhenti. Belum
sempat membuka pintu, tiba-tiba
gagang pintu bergerak,
seseorang membukanya dari
arah luar. “John…”, kataku ketika
melihat ternyata suamiku yang
muncul di balik pintu. John pun
masuk kemudian mendekatiku,
“Are you oke?” tanya John sambil
memegang dahi ku. Ia terlihat
sungguh perhatian padaku, “I’m
fine…” jawabku. Namun niat ku
ingin melihat anakku Chelsea
sedikit terganggu dengan
munculnya John, gerak-geriknya
membuatku penasaran. John
mendekati arah lemari, ia
mengeluarkan sebuah tas besar
dari balik lemari dan segera
memasukkan semua pakaiannya
dalam tas itu. Sepertinya John
ingin melarikan diri. Aku sangat
takut dengan keadaan seperti ini,
dengan wajah pucat aku pun
bertanya, “What are you
doing?..”. Ia hanya sibuk
mengemas kopernya tersebut
dan lalu berkata, “I must go…”.
Sungguh keadaan yang sangat
menyulitkan, ia masih
menyembunyikan
kebangkrutannya padaku, ia
bilang ia dapat bisnis di luar
negeri, dan ini mendadak sekali.
Katanya ini adalah tawaran dari
Hamid dan Karim, dua pria yang
masih sedang asik ngobrol di
ruang makan. Entah benar atau
tidak, kata John ini adalah bisnis
besar. Apa ini masih sebuah
kebohongan untukku?
Selesai mengemas kopernya ia
lalu merapikannya di atas
ranjang. Oops, aku kaget karena
buku diary John masih tertinggal
di ranjang dan belum sempat
aku kembalikan ke tempat
asalnya. John langsung terdiam
melihat buku diary yang ada di
atas ranjang kami tersebut. Aku
tidak berani buka mulut, aku
bingung dengan keadaan ini,
dan tidak tahu apa yang harus
ku perbuat. John lalu tertunduk
dan meneteskan air mata, “Hiks…
Hiks… I’m sorry…” ia meminta
maaf padaku. Aku iba sekali lalu
mendekatinya untuk mencoba
menghiburnya. John akhirnya
menceritakan masalahnya, ia
benar-benar bangkrut, bisnis
haramnya itu telah hancur, kini ia
harus memperbaiki kehidupan.
Ada bisnis besar yang akan
merubah nasib kami kata John.
Dan kesempatan ini tidak boleh
disia-siakan, John harus segera
berangkat ke luar negeri. Aku
cuma diam dan
menyemangatinya, John pun
kembali tersenyum, dadanya
kembali membusung tegak, ia
berdiri dan mengecup keningku,
“Bye honey… See you later…”.
Aku meneteskan air mata karena
akan merindukannya beberapa
saat, John belum tahu berapa
lama bisnis itu akan selesai.
Aku tidak mengantarnya keluar,
aku hanya merapikan kembali isi
lemari yang tadinya berantakan
karena John buru-buru
mengambil bajunya. Buku diary
miliknya pun aku kembalikan ke
asalnya. Hmm, semoga John bisa
kembali ke jalan yang benar.
Padahal tadi aku sudah berpikir
akan pergi dari sini, paling
enggak ya kembali ke kampung
halamanku. Tapi John bilang
akan segera melunasi hutangnya
dan memintaku untuk bersabar.
Aku pun berdoa sejenak untuk
keteguhan hati John agar dia
bisa melewati beban ini dengan
baik.
Ku lihat dari balik jendela, mobil
John keluar dari halaman,
mereka akan berangkat untuk
mengerjakan bisnis mereka. Aku
sedikit lega dengan masalah
John, aku pun kembali ingin ke
kamar sebelah menemui anak
perempuanku, Chelsea Olivia,
yang sedang tidur. Namun
betapa kagetnya aku ketika
muncul dua sosok dari balik
pintu sebelum aku keluar kamar.
“Hamid?… Karim?…”, aku kaget
karena dua orang ini
menghalangi pintu keluarku.
Kenapa mereka tidak ikut John
berangkat ke airport? Belum
sempat menanyakan mengapa,
tiba-tiba mereka mendorongku
masuk kembali ke kamar.
Perasaanku tidak enak, mereka
tersenyum gembira sambil
berbicara entah bahasa apa.
Aku gelagapan melihat mereka
berjalan mendekatiku. “Get out
from my room!”, teriakku marah.
Namun mereka tersenyum sambil
melepaskan jas mereka. Mereka
lalu berbicara kepadaku dengan
bahasa mereka, aku sungguh
tidak mengerti, tapi kemudian si
Hamid melanjutkan dengan
sedikit bahasa inggris, “Your
husband sell this house include
you…” katanya sambil tersenyum
dengan giginya yang putih.
“Hahahaha…”, si Karim tertawa
lebar sambil mendekatiku.
Badanku gemetaran takut
merrka berbuat sesuatu yang
menyakitiku, aku pun segera lari
ke arah pintu keluar. Damn,
Hamid berhasil menghadangku
dan menarik tanganku, ia
kembali mendorongku hingga
jatuh terlentang di atas ranjang.
Apa yang dilakukan John
kepadaku? Apa dia tega
menjualku? Aku lalu meneteskan
air mata membayangkan nasib
yang menimpaku ini. Sedangkan
kedua pria bertubuh besar
berkulit hitam itu telah
melepaskan semua busana
mereka. Tubuh mereka sangat
kekar, badan mereka berotot, si
Karim memiliki tatto di
lengannya, bahkan yang
membuatku pucat adalah penis
mereka yang sangat besar,
melebih ukuran milik John.
Kedua orang yang berbadan
seperti bodyguard itu
mendekatiku, mereka tertawa
girang. Mereka berkomunikasi
dengan bahasa mereka yang
tidak ku mengerti. Hamid lalu
menangkap tanganku, ia
mencoba menciumi bibirku, tapi
aku memberontak hingga ia
kesal lalu menamparku. Pipiku
dicengkramnya agar ia bisa
leluasa menciumi bibirku.
Sedangkan si Karim dari bawah
menyibak rokku, ia berusaha
memplorotkan celana dalamku.
“No!…”, aku berusaha berteriak
dan menendang-nendangkan
kakiku, tapi Hamid sudah
menciumi bibirku hingga aku
tidak bisa teriak, dan ia mencekik
leherku agar aku tidak melawan.
Akhirnya Karim berhasil menarik
turun celana dalamku, ia pun
langsung menjilati vaginaku.
“Ouh…”, geli sekali. Sungguh
sangat menjijikkan, di mana
mulutku penuh dengan air liur
Hamid, dan vaginaku dijilat oleh
Karim dengan sedikit sentuhan
bibirnya yang agak brewokan.
Ciuman Hamid kemudian di
arahkan ke leher ku. Rambutku
dijambak agar aku tidak
bergerak. Tubuhku pun
ditindihnya agar tidak melawan.
Sungguh aku tidak bisa berbuat
apa-apa lagi selain pasrah. Aku
hanya bisa menutup mataku dan
merasakan hal buruk ini terjadi,
daerah kewanitaanku sudah
tidak dijilati, namun aku
merasakan jari Karim meraba-
raba dan ingin menusuk ke
dalam lubang vaginaku. Sesuatu
yang keras perlahan memasuki
liang vagina ku. “Argh…”, aku
tersentak karena benda keras itu
menusuk dengan kasar hingga
ke dalam vagina, jarinya terasa
mengoyak dinding vaginaku.
Bukan satu jari, sepertinya ia
menggunakan lebih dari dua jari
untuk mengobok-ngobok
vaginaku, sungguh sangat
menyakitkan.
Sedangkan Hamid sudah bosan
menciumi bibir dan leherku, ia
menarik bajuku hingga koyak,
aku benar-benar ketakutan.
Seperti binatang kelaparan,
Hamid langsung menarik bra-ku
hingga bra-ku lepas dan
memperlihatkan payudara ku
yang tidak begitu besar.
Binatang liar itu tidak mau
menunggu lama, ia langsung
meremas payudaraku dengan
kasar. Sakit sekali karena Hamid
meremasnya dengan kuat, ke
dua buah payudaraku
dicengkram erat seperti mau
diremas hingga pecah. “Please…
Leave me…”, Hamid bukannya
iba, ia malah memilin puting susu
ku dengan jarinya. “Argh…”,
puting susu ku dicubit dan
ditarik Hamid.
Beberapa menit sudah berlalu,
vaginaku terasa perih karena
tusukan yang terus-menerus
oleh jari Karim. Tiba-tiba gerakan
jari itu tidak terasa, aku tidak
bisa melihat dengan jelas apa
yang terjadi karena Hamid masih
menindihku dan menutupi
pandanganku. Mungkin Karim
capek dengan gerakan jarinya
sehingga ia ingin istirahat.
Bosan meremas susuku, Hamid
kemudian menciumi susuku,
bahkan ia meyedot keras
putingku dan sekali-kali
menggigitnya. Tidak hanya itu, ia
juga memberikan beberapa
bekas cupangan di sekitar
susuku. Putingku terasa sangat
sakit karena digigit Hamid. Ingin
rasa diriku bunuh diri saja
daripada diperlakukan begini.
Hamid kemudian menyudahi
kegiatannya, sepertinya ia sudah
puas menikmati susuku. Ia
kemudian berdiri, sehingga
dengan jelas aku melihat Karim
telah siap-siap ingin
memasukkan penisnya yang
besar panjang ke dalam
vaginaku. Aku sangat ketakutan
karena sebelumnya aku tidak
pernah menjumpai penis sebesar
itu. Aku berusaha bangun untuk
menghindari semua ini, dengan
cepat aku menendang Karim dan
mendorong Hamid hingga
terjatuh, segera aku berlari
keluar kamar, aku tidak peduli
dengan kondisi ku yang sudah
telanjang bulat. Tapi langkahku
terhenti, ternyata di luar kamar
ramai dengan orang-orang
berkulit hitam, sepertinya mereka
adalah anak buah Karim dan
Hamid. Mereka terlihat seperti
preman, sedang asyik merokok
sambil berjaga-jaga. Aku tak bisa
lari lagi. Aku terdiam dan mereka
hanya senyum-senyum sambil
memainkan belati yang ada di
tangan mereka. Hamid dan Karim
pun keluar untuk menjemputku.
Aku hanya bisa menangis ketika
mereka mendekatiku, Hamid
kemudian maju dan menampar
pipiku. Perih sekali rasanya
pipiku, tak hanya itu, Hamid
langsung menendang perutku
hingga aku jatuh tersungkur.
Kemudian Karim menjambak
rambutku dan menariknya
sehingga aku yang jatuh
terlentang terpaksa segera
berdiri dan mengikuti arah
Karim, karena bila tidak, mungkin
tidak hanya rambutku yang
tertarik melainkan lepas bersama
kulit kepalaku. Mereka
memaksaku kembali ke kamar.
Aku teringat dengan Chelsea
Olivia yang tidur di kamar
sebelah, supaya mereka tidak ke
kamar sebelah dan menyakiti
anakku itu, aku terpaksa
mengikuti kemauan mereka. Aku,
Hamid dan Karim pun kemudian
kembali ke kamar. Kami bertiga
tidak berbusana sama sekali,
penis mereka yang besar dan
panjang bergelantungan seperti
buah terong raksasa.
Mereka masih terus tersenyum
senang karena mendapatkan
mangsa lezat bagi mereka.
Sebentar-bentar mereka
menenggak liur dan memainkan
lidah mereka seperta ingin
melahapku. “Argh…”, aku
kesakitan ketika Hamid
menjambak rambutku, ia
bermaksud menyuruhku
berjongkok dan mengulum
penisnya. Cengkraman erat di
kepalaku membuatku kesakitan
dan aku terpaksa berjongkok
untuk mengulum penisnya.
‘Huek…’, aku seperti mau muntah
karena penisnya yang besar dan
sedikit bau pesing. ‘PLAKKK…’,
Hamid menampar pipiku agar
aku tidak menolak
permintaannya. Dari belakang
Karim memegang pinggangku
dan menariknya ke atas, aku
sudah tahu maksudnya, ia pasti
ingin menyodomiku. “No…!!!”,
teriakku sambil mencoba
menggerakkan bokongku agar
Karim tidak berhasil menusukkan
penis jumbonya. ‘Itu pasti sakit
sekali’, pikirku dalam hati.
‘PLAKKK!!!’ kini giliran Karim yang
menampar pantatku, bergantian
kiri dan kanan, perih sekali
rasanya, kulit bokongku yang
putih mulus pun sepertinya akan
memerah.
Tidak depan mau pun belakang,
aku terus ditampar agar
melayani nafsu bejat mereka. Dan
akhirnya penderitaanku pun
dimulai, “ARGHHH….!!!”, ujung
anusku terasa sakit sekali,
sebuah benda tumpul besar
berusaha mengoyak liang
anusku, sungguh menyakitkan
apalagi dengan keadaan kulit
kering begitu. Saat aku berteriak,
mulutku pun disumpal penis
Hamid yang bau pesing itu. Aku
sungguh tidak tahan lagi,
rasanya akan pingsan, badanku
langsung lunglai, melihat
demikian, Hamid berkata sesuatu
ke Karim, dan Karimpun menarik
kembali penisnya dari anusku.
Mungkin Hamid melarangnya
menyodomiku, ia langsung
kembali menampar pipiku untuk
memastikan aku terus terjaga.
Tak mau sampai aku kehilangan
kesadaran, mereka kemudian
kembali menggiringku ke
ranjang, aku kembali
dihempaskan ke atas tempat
tidur. Karim yang sedari tadi
tidak sabar langsung membuka
selangkanganku, ia langsung
menjebloskan penisnya ke
vaginaku. ‘Fuck!’, pikirku dalam
hati, karena Hamid pun tidak
tinggal diam, ia naik ke atas
tempat tidur dan melanjutkan
kegiatan tadi, yaitu ingin aku
menyepong rudal besarnya itu.
Tubuhku bergoncang kuat,
vaginaku terus diobok-obok
benda besar Karim, sedangkan
mulutku tersumpal benda bau
yang juga besar. Bukan hanya
itu, sambil menikmati vagina dan
mulutku, tangan mereka pun
menjahili payudaraku. Susu ku
diremas dengan kuat, puting
susu ku pun dicubit, diplintir dan
ditarik ke atas dengan kasar. “Oh
yes… Oh no…”, teriakan
kegembiraan Karim yang
semakin semangat memaju
mundurkan pinggulnya.
Vaginaku sudah terasa sakit
sekali, perih banget, dinding-
dinding vaginaku mungkin koyak
karena lubang vaginaku tidak
muat dengan penisnya yang
besar.
Satu jam mungkin sudah berlalu,
mereka masih sangat kuat, apa
mereka menggunakan semacam
obat kuat aku juga tidak tahu,
yang jelas tubuhku sudah letih
sekali. Karim sedari tadi terus
memompa penisnya di dalam
vaginaku dan belum sama sekali
ia berejakulasi, mungkin karena
sesekali ia memelankan
gerakannya. Sedangkan Hamid
sudah tidak mau aku sepong,
sedikit lega untuk bernapas lebih
segar, tidak menciumi penisnya
yang bau itu. Hamid kini
menyedoti ke dua payudara ku
yang tidak begitu besar. Kulitku
yang putih tampak semakin
putih ketika dekat dengan dua
orang berkulit hitam ini.
Karim kemudian menarik
penisnya, ia sepertinya akan
menyemprotkan spermanya, ia
mengarahkan penisnya ke muka
ku, lalu ia mengocok penisnya.
Dan ternyata benar, spermanya
banyak sekali menyemprot ke
arah wajahku. Belum berhenti
penderitaanku, Hamid segera
menggantikan posisi Karim
tanpa jeda. Sungguh malang
sekali nasibku, tak di kampung
sendiri bahkan di negeri orang,
aku tetap diperlakukan seperti
ini. Apa karena nasibku yang
kurang bagus, diperlakukan
kasar oleh teman bahkan suami
sendiri, hingga John tega
menjualku.
Karim kemudian meninggalkan
kami, sepertinya dia sudah puas
menyalurkan hasratnya. Dengan
penuh air mata yang bercucuran,
tubuhku masih berguncang kuat,
Hamid sangat semangat
memompaku. Hingga
penglihatanku sedikit kabur, aku
melihat bayang-bayang sekitar
dipenuhi pria. Mungkin Karim
memanggil teman-temannya
yang tadinya sedang berjaga-
jaga untuk masuk dan
menikmatiku juga. Samar-samar
aku lihat mereka sudah telanjang
bulat semua, mungkin ada
belasan orang, sama seperti
Hamid dan Karim, kulit mereka
gelap dengan penis yang sangat
besar.
Setelah Hamid menarik penisnya
dari vaginaku dan
menyemprotkan spermanya di
wajahku, para gerombolan itu
pun mendekatiku, senyum
bringas mereka benar-benar
seperti merontokkan semangat
hidupku. Aku akhirnya pingsan
ketika seorang pria kembali
memasukkan penis jumbonya ke
vaginaku. Pandanganku gelap,
tubuhku yang letih hanya terasa
bergoyang sendiri. Banyak
tangan yang menjamahi
tubuhku, hingga aku benar-
benar terlelap dan hilang
kesadaran.
Saat aku terbangun, sekitarku
sudah sepi, badanku sakit
semua, tubuhku penuh dengan
cairan sperma, hingga rambutku
sudah acak-acakan. Vaginaku
yang paling perih, entah sudah
berapa belas batang penis jumbo
yang sedari tadi mengoyak-
ngoyaknya.
Aku segera bangkit dan menuju
kamar mandi, segera ku
bersihkan diriku, aku sudah tak
sempat bersedih, ini
kesempatanku kabur, yang
kupikirkan adalah untuk keluar
dari rumah ini. Cepat-cepat ku
cari pakaian di lemariku, segera
kupakai dan menuju ke kamar
anakku, Chelsea Olivia, syukur dia
masih baik-baik saja, tertidur
dengab nyenyak. Aku segera
membangunkannya dan
mengajaknya keluar. Rumah
sepertinya kosong, entah
kemana gerombolan orang
berkulit hitam itu. Saat keluar
dari pintu rumah, aku segera
menelpon temanku yang bekerja
di agen penerbangan, aku
menyuruhnya menyiapkan tiket
untuk pulang ke kampung
halamanku. Aku dan Chelsea
berjalan menjauhi rumah laknat
itu. Cara jalanku sudah berbeda,
karena selangkanganku masih
terasa sangat sakit. Chelsea
sedikit keheranan melihatku, aku
terus berbicara padanya agar ia
tidak ketakutan. Sambil berjalan
aku menunggu kabar temanku,
dan ya, ada seat kosong, malam
ini aku akan terbang kembali ke
Indonesia, tempat kelahiranku.
Aku pun meminta temanku
memesankan taksi untuk
menjemputku di tempat yang
sudah cukuo jauh dari rumah. Ku
sms Herman, ‘Aku malam ini
pulang, tolong jemput…’, ia satu-
satu nya teman yang bisa
kembali aku berharap.
‘Oke, sebelum check in, kabari
saja’ balas Herman yang kembali
menyemangatiku. Hingga aku
pun sampai di airport dan segera
lepas landas menuju asalku.
Semoga aku masih diberi
kesempatan untuk kehidupan
yang lebih baik.
[TAMAT]